![$rows[judul]](https://lantaran.com/asset/foto_berita/AHY_DILANTIK_MENTRI_ATRBPN_(42).jpg)
Untuk prosesi Siat Yeh, persiapan telah dimulai sekitar pukul 06.00 Wita. Tahun ini, Tarian Rerejangan menjadi tambahan baru dalam pelaksanaan tradisi ini. Yang mana tarian ini mencerminkan unsur sakral melalui penggunaan sarana gayung dari tempurung kelapa yang digunakan untuk menampung air suci.
“Tarian ini merupakan bentuk penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan dan kebersihan spiritual. Delapan penari muda perempuan, terbagi dalam dua kelompok menghadap timur dan barat, menampilkan tarian itu selama tujuh menit, melambangkan keseimbangan dan kesucian,” ucapnya.
Setelah tarian, tradisi Siat Yeh dilanjutkan dengan nyanyian dan pembagian air suci yang telah dicampur dari dua sumber air di pantai timur dan barat. Nyanyian yang mengiringi tradisi ini sarat akan pesan tentang kesederhanaan dan penerimaan diri, mengajarkan masyarakat untuk hidup dalam kesederhanaan dan menerima keberadaan noda sebagai bagian dari kehidupan.
Nyanyian yang ditampilkan yakni ‘Idupe metanah pasih, idupe metanah suwung, pade alih pade sikian, menadi tunggal apang nawang kangin kauh’. Adapun artinya dari nyanyian tersebut adalah. “Kita hidup harus biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan atau sifatnya bersyukur. Kita hidup di dunia ini tidak akan terlepas oleh noda, seberapa pun bersih atau suci kita pasti ada bekas noda atau akan bernoda. Kita mencari agar bisa menjadikan satu. Ketika orang Bali sudah tahu kangin kauh artinya sudah waras”.
Setelah berlangsungnya tradisi Siat Yeh, dilakukan ritual pemurnian dengan tirta khusus, air suci yang dimohonkan dari Pura Ulun Siwi, diikuti oleh sebuah sesi pembersihan, menandakan berakhirnya acara tersebut. Keseruan dan partisipasi dari hampir 200 krama menunjukkan dukungan yang kuat dari masyarakat Banjar Teba.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekompakan di antara warga. Kedepannya, Santa berharap pihaknya bisa mengundang krama dari banjar lain di Desa Jimbaran untuk ikut serta, dengan harapan besar bahwa tradisi Siat Yeh ini dapat berkembang menjadi sebuah festival tahunan yang dinamakan Jimbaran Festival.
Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Ngurah Made Rai Dirga, menegaskan bahwa Siat Yeh adalah rekonstruksi dari kebiasaan masyarakat terdahulu yang sebelumnya dilaksanakan pada hari raya Nyepi. Meskipun sekarang tidak lagi memiliki kesempatan untuk beradu air saat Nyepi, Banjar Teba dengan antusias merekonstruksi tradisi ini menjadi Festival Budaya Siat Yeh.