YOUTUBE

Perang Air Usai Nyepi di Bali, Dipercaya bisa Menetralisir Energi Negatif Dalam Diri dan Alam Semes

$rows[judul]
Perang air di Jimbaran Bali dalam rangka meperingati Siat Yeh

Lantaran.com, Bali - Warga Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan Badung, merayakan penuh sukacita melalui tradisi “Siat Yeh” atau perang air, di hari Ngembak Geni atau sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi Caka 1946, Selasa 12 Maret 2024.  

Tradisi Siat Yeh yang merupakan rekonstruksi kebiasaan masyarakat Jimbaran di masa lalu ini, diyakini sebagai simbol untuk menetralisir energi negatif dalam diri manusia dan alam semesta.

Menurut Kelian Adat Banjar Teba, I Wayan Eka Santa Purwita, Siat Yeh atau perang air ini merupakan rekonstruksi dari kebiasaan masyarakat di Jimbaran, dimana dulunya mereka bermain air di pantai timur dan barat saat hari raya Nyepi. Tradisi ini mencerminkan kehidupan masyarakat yang bermain di rawa di sisi timur dan pantai di sisi barat.

Di tahun 2018, dilatarbelakangi perayaan Banyu Pinaruh dan Ngembak Geni yang bersamaan saat itu, akhirnya tradisi ini direkonstruksi menjadi pertunjukan yang meriah dengan dukungan penuh dari tokoh dan penglingsir adat setempat.

“Itulah yang menjadi cikal bakal, dengan disupport penglingsir dan tokoh, kita sebagai pelaku seniman di Banjar Teba kemudian menuangkan dengan bentuk garapan Siat Yeh dan dikolaborasikan dengan nyanyian dan tabuh atau gamelan,” kata Eka Santa.

Baca Lainnya :

Wayan Santa menambahkan, tradisi ini termasuk sebagai pengelukatan Agung yang prosesnya diawali dengan mendak atau mengambil tirta di dua sumber mata air, yakni di arah barat yakni ke Tuntunan Ratu di Pantai Segara kompak dengan berpakaian adat serba kuning membawa sebanyak 7 kendi. Sementara, krama yang menuju arah timur yakni ke Pantai Suwung (hutan mangrove), mengenakan pakaian adat serba putih dan membawa 5 kendi. Selanjutnya tirta tersebut dituangkan ke dalam kendi, dan dibawa ke Banjar yang diiringi gamelan Baleganjur.

“Siat Yeh mendak Tirta dilakukan di dua lokasi, yakni di timur dan barat, dan busana yang dikenakan menyimbolkan letak Catur Dewata. Yang mana, untuk timur adalah Dewa Iswara dengan warna putih dan uripnya berjumlah lima. Sedangkan untuk di Barat dengan warna kuning yakni Dewa Maha Dewa dengan uripnya 7,” bebernya.

Sesampainya di Banjar, para krama dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sisi timur dan barat, sesuai dengan warna yang telah ditentukan. Dengan menggunakan cetok atau batok kelapa terbelah dua sebagai wadah, mereka saling melemparkan air sambil bernyanyi, menambah euforia di antara peserta. “Tradisi ini mengadopsi konsep Tri Murti, dengan tiga ronde yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan, simbol dari siklus kehidupan itu sendiri,” ucapnya.